oke, hari itu selasa sore yang basah oleh hujan saya akan pulang menuju surabaya. saya tiba di terminal arjosari sekitar pukul 16.00. saya masuk peron dan langsung menjumpai bus KALISARI AC tarip biasa yg lagi ngetem di jalur ekonomi. karena saya hafal jam segitu memang jamnya berangkat, daripada saya naek patas 15rb lebih baik saya naik ini. toh dengan 8rb saja saya sudah dapat kenyamanan bus seperti patas.
ternyata bis yang saya naiki nggak langsung berangkat tapi muter dulu.ternyata masih ada bus lain yg gilirannya berangkat.yasudahlah tak apa menunggu 15 menit, batin saya. Toh saya juga sudah dapat tempat duduk yang nyaman di bangku berdua paling belakang sebelum pintu keluar.

bis mulai beranjak meninggalkan terminal sekitar pukul 16.15. nah waktu sampai di bawah jembatan arjosari, ada seorang bapak tua dengan pakaian lusuh dan tas kain hendak naik. awalnya orang itu duduk di bangku yang isi tiga orang, namun karena mungkin dia pikir bangkunya basah dia pindah duduk dan duduk di samping saya. 

IBA. itulah kesan saya pertama kali melihat bapak ini. entah kenapa. saya lalu tanyakan bapak ini darimana. ternyata beliau jawab baru ngamen. oh pantas bau bapak ini adalah bau matahari. bukan bau lebus atau bau gembel lo. saya tahu bau ini. bau jika orang yang bhkan mandi pagi sore pun akan rasakan kalau dia lama berjalan di bawah terik matahari. saya tiba-tiba menjadi sangat tertarik dengan bapak ini dan mencoba memancingnya bercerita. bodohnya saya lupa menanyakan siapa nama beliau. oke kita sebut saja Pak X ya..

Pak X ini ternyata asalnya dari Mojosari. istrinya sudah tiga tahun meninggal karena penyakit jantung. dulunya dia adalah seniman ludruk yang harta bendanya habis digunakan berobat istrinya. anaknya ada empat dan cucunya ada tujuh. salah satunya berkuliah di Surabaya bernama randi. sayang Pak X tak tahu dimana cucunya kuliah.

Pak X tinggal bersama ibunya yang sudah sepuh. ia merawat ibu kandungnya karena ia kasihan saudara-saudara nya kurang memperhatikan ibunya itu. rumah Pak X sendiri ditempati oleh anaknya. Pak X menghidupi ibunya dengan mengemis di daerah sekitar Tumpang, Bululawang hingga Gadang. kadang kala ia juga ke Kandangan, Pare. yang penting ia mendapat rezeki halal untuk dapat menafkahi ibunya. Wow saya tak bisa bayangkan apa rasanya jalan kaki dari Bululawang sampai ke Gadang. Bahkan lanjut sampai terminal Arjosari setiap hari. Dalam tas kainnya ia menaruh baju dan sarung bersih yang ia gunakan untuk shalat Dhuha di masjid yang ia singgahi dalam perjalanannya. Ia sengaja mengemis jauh karena malu kalau sampai ketahuan teman-temannya atau tetangganya. Dia ingin menjaga agar keluarganya juga tidak dipermalukan. Sebenarnya banyak saudaranya yang mengajaknya ikut bersama mereka, ada yang jadi artis di jakarta (namanya Aan artis dari Mojokerto) ada pula Haji Hanafi pegawai kecamatan Ngoro. tapi dia tak ingin merepotkan mereka. Selain itu ia juga ingin tetap menjaga ibunya. Setiap hari ia menumpang bis menuju Malang dan setiap hari pula ia akan pulang ke rumahnya. Langkah nya masih gesit, berbanding terbalik dengan usianya yang sudah kepala 6.

Hari itu aku mendapat sebuah pelajaran penting.apalagi saat kulihat dia menghitung recehan yg diperolehnya untuk membayar bis. sungguh aku tidak tega. selama ini kita menilai pengemis itu orang yg tak mau usaha dan merendahkan mereka. tapi kita tidak pernah tahu kan kenapa mereka sampai melakukannya. Ketika mereka mengetuk rumah kita mungkin kita melihatnya sebagai orang tak berguna. tapi aku yakin, bagi ibunya, Pak X ini adalah anak yang berbakti. bahkan di usianya yang senja pun ia masih terus mengabdikan dirinya sebagai anak yang berbakti pada orang tuanya.


0 sumbang saran:

Posting Komentar